Azan Magrib usai berkumandang. Udin dan dua temannya buru‐buru menambatkan sampan mereka di tepi sungai. Sejurus kemudian, mereka berlari tergopoh‐gopoh untuk mencapai rumah sesegera mungkin. Jarak dari tepi sungai ke rumah Udin berkisar dua ratus meter. Sesampainya di teras rumah, ayahnya berdiri kekar persis di sisi tangga rumah panggung mereka. Di tangannya telah tergenggam sebatang rotan seukuran jari kelingking. Tanpa basa‐basi rotan telah mendarat di lengan kiri Udin. Kantung jaring ikan digenggamannya terlepas dan tumpah ke tanah. Ikannya berserakan. Lalu, lelaki paruh baya bertubuh kekar yang tak lain ayah si Udin, memerintahkan Udin, membuang semua ikan hasil pancingannya ke parit depan rumah. “Memang gak bisa dinasihati!” bentak sang ayah sambil menatap dalam ke wajah Udin. “Kan sudah ayah bilang berkali‐kali, pulang ke rumah jangan sampai Magrib,” hardik ayah si Udin yang dikenal dengan nama Pak Ali. “Buang semua ikan itu ke parit! Lalu mandi. Shalat, terus mengaji!” seru Pak Ali lagi sambil menunjuk ke arah parit depan rumah mereka.